Kamis, 31 Desember 2009

FRAKTUR GIGI

FRAKTUR DENTAL

DEFINISI
Fraktur dental atau patah gigi adalah hilangnya atau lepasnya fragmen dari suatu gigi utuh yang biasanya disebabkan oleh trauma atau benturan.

PATOFISIOLOGI
Fraktur dental pada umumnya terjadi bersamaan dengan cidera mulut lainnya. Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus (Peng, 2007).
Fraktur dental pada umumnya terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 2-3 : 1. Penyebab umum fraktur dental adalah benturan atau trauma terhadap gigi yang menyebabkan disrupsi atau kerusakan enamel, dentin, atau keduanya. Dari penelitian terhadap 1610 anak-anak, faktor predisposisi fraktur dental antara lain postnormal occlusion, overjet yang melebihi 4 mm, bibir atas yang pendek, bibir yang inkompeten, dan pernapasan melalui mulut (Peng, 2007). Literatur lain menyebutkan bahwa umur, aktivitas olahraga, riwayat medis, dan anatomi gigi juga merupakan fraktur predisposisi.
Fraktur dental jarang ditemukan pada anak-anak di bawah 1 tahun. Apabila ada, dapat disebabkan oleh kekerasan terhadap anak. Pada usia 1-3 tahun ketika anak belajar berjalan dan berlari insidennya meningkat yang diakibatkan oleh aktivitas yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota tubuh menyebabkan anak sering jatuh. Pada anak usia sekolah, taman bermain dan cidera akibat bersepeda merupakan penyebab tersering. Selama masa remaja, cidera olahraga merupakan kasus yang umum. Pada usia dewasa, cidera olahraga, kecelakaan sepeda motor, kecelakaan industri dan pertanian, dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab potensial (Schwartz, 1999).
Olahraga yang melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket. Olahraga tanpa kontak fisik seperti berkuda juga dapat menyebabkan fraktur dental (Schwartz, 1999).
Frekuensi fraktur dental yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan retardasi mental dan serebral palsi. Penyalahgunaan obat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya fraktur dental (Schwartz, 1999).
Gigi insisivus maksiler yang menonjol keluar atau ketidakmampuan menutup gigi pada keadaan istirahat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya fraktur (Schwartz, 1999).
Benturan atau trauma, baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin dapat pula menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa hanya sekedar retak saja, pecahnya prosesus, sampai lepasnya gigi yang tidak bisa diselamatkan lagi. Trauma langsung kebanyakan mengenai gigi anterior, dan karena arah pukulan mengenai permukaan labial, garis retakannya menyebar ke belakang dan biasanya horizontal atau oblique. Pada fraktur yang lain, tekanan hampir selalu mengenai permukaan oklusal, sehingga frakturnya pada umumnya vertikal.
Pukulan terhadap gigi anterior paling sering terjadi pada anak-anak dan apabila dibiarkan maka tubulus dentinnya akan terpapar pada flora normal mulut sehingga dapat menimbulkan infeksi dan inflamasi pulpa sehingga perlu dirawat. Di pihak lain, gigi posterior yang fraktur karena tekanan oklusal yang besar biasanya karena mempunyai tumpatan yang luas. Pada gigi semacam ini, hanya sedikit tubulus dentin yang terbuka yang langsung berhubungan dengan pulpa karena telah terjadinya reaksi terhadap karies dan prosedur penambalannya berupa kalsifikasi tubulus dan penempatan dentin reaksioner di rongga pulpa. Dengan demikian jaringan pulpanya jarang sekali ikut terkena.
Trauma terhadap gigi pada umumnya bukan merupakan keadaan yang mengancam nyawa, tetapi cidera maksilofasial lain yang berhubungan dengan trauma dental dapat mengganggu jalan napas. Fraktur biasanya terjadi pada gigi permanen, sedangkan gigi susu biasanya hanya mengalami perubahan letak. Morbiditas yang berhubungan dengan fraktur dental bisa seperti gagalnya pergantian gigi, perubahan warna gigi, abses, hilangnya ruang pada arkus dental, ankylosis, lepasnya gigi secara abnormal, dan resorpsi akar merupakan keadaan yang signifikan. Trauma dental sering berhubungan dengan laserasi intraoral. Ketika ada gigi yang pecah atau hilang dan pada saat yang bersamaan terdapat laserasi intraoral, maka harus diperhatikan bahwa bagian gigi yang hilang dapat tertanam di dalam robekan luka tersebut (Roberts, 2003; Peng, 2007).

ASPEK KLINIS
Klasifikasi fraktur dental dan anamnesa
Ada banyak cara untuk mengklasifikasikan fraktur dental. Klasifikasi Ellis merupakan salah satu yang sering digunakan dalam literatur kegawatdaruratan, tetapi banyak dokter gigi dan ahli bedah maksilofasial yang tidak menggunakan sistem ini. Metode klasifikasi yang paling mudah dimengerti adalah berdasarkan deskripsi cidera (Roberts, 2003).
Fraktur mahkota gigi dapat dibedakan menjadi kategori sederhana dan rumit. Fraktur mahkota sederhana melibatkan bagian enamel dan dentin. Yang termasuk fraktur mahkota sederhana adalah fraktur Ellis kelas I dan II.
Fraktur Ellis kelas I
Fraktur yang tergolong Ellis kelas I hanya melibatkan lapisan enamel gigi. Pada inspeksi tampak sebagai kepingan kecil dengan tepi yang tidak beraturan (kasar). Keluhan yang biasanya muncul adalah rasa tidak nyaman akibat tepi fraktur yang kasar tersebut. Pasien pada umumnya tidak mengeluhkan sensitivitas terhadap temperatur atau udara. Fraktur ini pada umumnya tidak menyebabkan gangguan terhadap rongga pulpa.